Oleh Ahmad Ubaidillah*
Setiap tanggal 20 Mei, kita sebagai bangsa diingatkan dengan Hari Kebangkitan Nasional. Kebangkitan Nasional Indonesia adalah periode pada paruh pertama abad ke-20 di Nusantara (kini Indonesia), ketika rakyat Indonesia mulai menumbuhkan rasa kesadaran nasional sebagai “orang Indonesia”. Masa ini ditandai dengan dua peristiwa penting yaitu berdirinya organisasi Budi Utomo (20 Mei 1908) dan ikrar Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928). Dua peristiwa penting tersebut digerakkan anak-anak muda.
Secara garis besar, faktor pendorong kebangkitan nasional terbagi dua: faktor eksternal dan internal. Faktor internal meliputi penderitaan yang berkepanjangan akibat penjajahan; kenangan kejayaan masa lalu, seperti pada masa Kerajaan Sriwijaya atau Majapahit; dan munculnya kaum intelektual yang menjadi pemimpin gerakan. Sedangkan faktor eksternalnya mencakup timbulnya paham-paham baru di Eropa dan Amerika seperti nasionalisme, liberalisme, dan sosialisme; munculnya gerakan kebangkitan nasional di Asia seperti Turki Muda, Kongres Nasional India, dan Gandhisme; dan kemenangan Jepang atas Rusia pada perang Jepang-Rusia yang menyadarkan negara-negara di Asia untuk melawan negara barat.
Hari ini, faktor pendorong lahirnya kebangkitan nasional adalah maraknya korupsi. Anak-anak muda Indonesia harus bangkit, membangun kesadaran nasional melawan korupsi. Sementara itu, kita masih melihat sebagian anak muda itu malah membangkitkan kesadaran nasional untuk berbuat korup. Ahmad Muhdlor Ali alias Gus Muhdlor, Bupati Sidoarjo Jawa Tmur, tersangka dugaan pemotongan dan penerimaan dana insentif di lingkungan Badan Pelayanan Pajak Daerah (BPPD), yang sedang ramai di meda massa dan media sosial adalah adalah satu contoh dari sekian banyak anak muda pejabat yang menggelorakan kebangkitan melakukan korupsi.
Kemunduran Peradaban
Bergelimangnya perilaku korup yang dilakukan oleh pejabat negara yang tuli akan kemuliaan hidup adalah sedikit bukti dari sekian banyak fakta empiris yang mengantarkan kita pada suatu keyakinan bahwa bangsa ini sedang mengalami kemunduran peradaban. Kemunduran yang terjadi bukan karena serangan dari luar, melainkan dari dalam diri kita pembangun peradaban. Komplotan koruptorlah yang merusak perabadan Indonesia.
Alih-alih semangat Reformasi yang dikobarkan anak-anak bangsa pada Mei 1998 itu mampu menghabisi para koruptor, justru ia memproduksi koruptor-koruptor di dalam suatu pabrik yang seakan tak pernah mengalami kekurangan bahan baku. Maling-maling uang rakyat semakin beringas memangsa ladang-ladang baru korupsinya. Para pelaku kejahatan luar biasa itu semakin berani.
Kita barang kali sudah merasa bosan dengan pertanyaan-pertanyaan misalnya, sampai kapankah bangsa ini mengidap penyakit mematikan bernama korupsi? Mengapa agenda Reformasi yang salah satunya bertekad bulat memberantas korupsi belum mampu diwujudkan oleh komponen bangsa ini? Apalagi kalau kita disodori pertanyaan: Siapa yang bertanggung jawab membumihanguskan aksi perampokan uang rakyat tersebut?
Kita pasti sepakat bahwa setiap pemimpin dan rakyat pasti menginginkan bangsanya maju. Tidak ada penghuni-penghuni bangsa di dunia ini, termasuk bangsa Indonesia, yang mendambahkan bangsanya mundur, atau bahkan hancur. Karena dengan menyandang predikat bangsa yang maju tersebut, akan tercipta nama baik bangsa di mata bangsa-bangsa lain. Ini tidak mungkin bisa dicapai tanpa sinergi yang apik antara pemimpin dan rakyat, dengan mencetak peradaban bangsa yang unggul.
Perlu disadari bersama, mencapai bangsa yang maju bukan pekerjaan mudah. Pencapaian kemajuan bangsa tidak segampang membalikkan telapak tangan. Bangsa tersebut harus menempuh langkah-langkah yang mungkin saja amat sulit dan proses-proses yang boleh jadi sangat panjang. Dan tidak bisa dipungkiri, sekali lagi, modal utama untuk mencapai kemajuan bangsa salah satunya adalah membumihanguskan korupsi.
Pada ranah pemimpin, misalnya presiden, gubernur, bupati, dan pemimpin-pemimpin lainnya, perlu membangun sebuah komitmen dan kesadaran bersama untuk mencapai kemajuan bangsa tersebut. Peran para pemimpin perlu mendapat penekanan yang kuat karena merekalah yang memiliki posisi strategis dan kekuasaan politik yang mampu mengarahkan hendak ke mana bangsa ini akan menuju dan dengan cara apa bangsa ini dikemudikan.
Artinya para pemegang kekuasaan harus mengelola bangsa ini dengan penuh amanah dan tanggung jawab. Mereka musti sadar bahwa kekuasaan yang dimiliki bukanlah fasilitas yang harus dinikmati sesuka hati, melainkan alat untuk memajukan bangsa dan mensejahterahkan rakyat. Mereka juga harus ingat bahwa jabatan yang dimiliki, bukan “ladang aji mumpung” yang bebas digunakan untuk meraup kekayaan pribadi dan kelompok (partai). Di sinilah para pemimpin dituntut untuk selalu sadar bahwa di dalam menjalankan pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah, mereka selalu diawasi Tuhan dan diikat oleh kesetiaan kepada rakyatnya. Maka, di sini juga dibutuhkan kerjasama serius dan berkelanjutan antar pemimpin dan masyarakat untuk menyelesaikan persoalan yang semakin lama semakin runyam di negeri ini: korupsi.
Seorang pemimpin di nusantara tercinta ini perlu merenungkan bahwa maju-mundurnya suatu bangsa akan sangat dipengaruhi apa yang dilakukan dan diputuskan pemimpinnya, terkhusus seorang presiden. Presiden adalah representasi bangsa dan negara. Sebesar apa pun negaranya, berapa pun jumlah rakyatnya, dan siapa pun yang bernaung di bawahnya, seorang presidenlah yang memutuskan hendak ke mana nasib bangsa ini akan dibawa, dan bagaimana cara membawanya.
Selain para pemimpin wajib bertiwikrama menciptakan kemajuan bangsa, kiprah rakyat dalam menggapai bangsa yang maju juga memegang peranan yang tidak bisa dianggap remeh. Warga negara dengan kapasitasnya masing-masing, entah sebagai pendidik, ekonom, tokoh agama, tokoh masyarakat atau lainnya, perlu berperan secara proaktif dalam membangun peradaban luhur bangsa. Mereka bisa menyumbangkan ide, pemikiran, atau tenaga untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang menjadi penghalang kemajuan perdaban bangsa tersebut.
Walhasil, dengan tidak mengesampingkan peranan penting masyarakat di atas, para pemimpin bangsa ini harus pandai menyerap, menyelaraskan, dan mengaktualisasikan serta merealisasikan nilai-nilai kepemimpinan sejati untuk mewujudkan kemajuan bangsa Indonesia. Para pemimpin wajib mengambil keputusan kepemimpinan berdasarkan pada kepentingan bersama, bukan kelompok (partai). Hal ini mendesak dilakukan demi terciptanya peradaban luhur manusia Indonesia seutuhnya, baik peradaban yang bersifat lahir maupun batin.
*Pegiat literasi Lamongan