Ekonomi Syariah dalam Kontestasi

Oleh Ahmad Ubaidillah

Sebuah niat baik tak selamanya menghasilkan persetujuan. Penawaran para eksponen tentang gagasan ekonomi syariah tak selalu menciptakan permintaan. Antusiasme sejumlah pegiat dalam mengembangkan ekonomi syariah yang komprehensif ternyata berbanding lurus dengan kegairahan sejumlah kalangan dalam melancarkan kritik yang peyoratif.

Beberapa waktu lalu, saya berbincang dengan seseorang yang bersikap anti terhadap ekonomi syariah. Dia tak setuju dengan kehadiran ekonomi syariah di Indonesia, meski ekonomi syariah, dengan manifestasi variatifnya, ikut menyumbang pembangunan ekonomi nasional. Tentu formalisme agama (Islam) dalam bidang ekonomi bisa ditanggapi secara beragam. Dan, ini sah-sah saja. Yang jelas, disiplin ekonomi syariah masih berada dalam “kondisi sehat” sebab masih mengandung perdebatan.

Dalam perdebatan akademis, tidak ada sikap yang lebih konyol selain menganggap salah satu pihak sebagai “korban” atau “pelaku”. Jika sejarah ekonomi syariah adalah sejarah tentang problem personal di antara para pendukungnya, mungkin ekonomi syariah tidak ubahnya seperti telenovela, dengan episode-episode yang menegangkan dan indah. Justru dengan mengangkat kembali problem-problem teoretis dan praktis ekonomi syariah dari perdebatan itu, kita dapat mengerti apakah topik yang dibicarakan para pendukung ekonomi syariah dan para penentangnya masih relevan, penting, atau malah usang.

Pada tingkat mondial, saling memperkarakan suatu pemikiran juga acap kali terjadi antarekonom Muslim dalam dokumen ilmiah: jurnal, misalnya. Bahkan, kontentasi tersebut bersifat terbuka dan eksplisit. Artinya, tulisan tersebut secara khusus dan langsung ditujukan untuk menanggapi tulisan ekonom Muslim lain.

Di Indonesia, tradisi saling mengkritik secara khusus dan langsung tulisan pemerhati ekonomi syariah jarang terjadi. Yang paling sering mencuat adalah kritik oleh sejumlah ekonom Muslim terhadap sistem-sistem ekonomi lain (Kapitalisme dan Sosialisme, misalnya) dengan menggunakan paradigma ekonomi syariah.

Jelas terlihat bahwa diskursus ekonomi syariah tetap bertahan dengan sifat khasnya: menciptakan gelombang kontestasi yang seakan-akan tak ingin lenyap dalam pantai. Pemikiran-pemikiran sejumlah tokoh ekonomi syariah tidak hanya berbeda, tetapi juga saling menegasikan. Sungguh pun begitu, disparitas pemikiran itu tidak boleh dibiarkan berseliweran di pasar gagasan tanpa ada upaya saling mengkonfrontasikan.

Serupa dengan barang-barang yang dijual di Pasar Klewer di Solo atau di Pasar Syariah Az-zaitun di Surabaya, umpamanya, bursa gagasan ekonomi syariah yang memiliki longgokan aliran pemikiran tersebut juga mengandaikan terdapatnya konsumen yang ingin membeli gagasan itu. Pada aras ini, kemudian timbul gagasan yang banyak pembelinya dan pemikiran yang kurang konsumennya. Sebagian ahli, dengan melakukan penyederhanaan, menyebut pemikiran yang banyak pembelinya sebagai “mainstream” dan yang jarang konsumennya sebagai “non-mainstream”. Meskipun istilah ini memenuhi unsur substantif, tetapi sering kali gagap jika digunakan secara lintas-area.

Baca Juga: Bayang-Bayang Bunga dalam Ekonomi Syariah

Dalam ilmu ekonomi konvensional, misalnya, pendekatan analisis kuantitatif dalam ilmu ekonomi dianggap sebagai “mainstream”. Akan tetapi, pendekatan analisis tersebut tidak populer atau kurang dikenal dalam ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi, atau filsafat. Selain itu, di negara-negara penganut pasar bebas, ekonomi Marxian dianggap “non-mainstream”. Namun di negara-negara pemuja instrumen negara, aliran pemikiran Marxian tersebut justru dianggap sebagai lokomotif gagasan utama. Kekacauan inilah yang sangat potensial terjadi bila digunakan istilah “mainstream” dan “non-mainstream” untuk mendeskripsikan bursa jual beli pemikiran ekonomi.

Tetapi dikotomi istilah tersebut tetap relevan dalam satu hal: mengabarkan bahwa sifat ilmu pengetahuan itu selalu dalam labirin proses, tidak pernah final, tidak mutlak, dan selalu dapat dipertanyakan. Tak terkecuali ide-ide ekonomi syariah yang merupakan hasil aktivitas pemikiran dan pemahaman ekonom Muslim pada suatu masa dan lingkungan yang bersifat relatif. Sehingga, ini menimbulkan kontestasi.

Antje Wiener, dalam buku A Theory of Contestation (2014), melihat kontestasi, sebagai “tindakan berdebat atau tidak setuju tentang sesuatu” atau “tindakan atau proses berselisih”. Oleh karena itu, kontestasi adalah suatu aktivitas yang mencakup keterlibatan kritis dengan “sesuatu” tertentu. Di luar pemahaman dasar tentang kontestasi ini, ada banyak pemahaman akademis yang mendedikasikan perhatian pada fenomena ini. Kontestasi dalam dunia akademis juga mencakup aneka disiplin ilmu, termasuk ekonomi syariah. Dengan kata lain, kontestasi adalah praktik sosial yang menimbulkan keberatan terhadap isu-isu penting bagi masyarakat.

Dengan demikian, kontestasi terjadi ketika ketidaksepakatan atau pertentangan muncul. Setiap isu setidaknya mengandung tiga hal: segi potensi, segi kontestasi, dan segi akseptasi. Potensi suatu isu mengandung pengertian ada segi-segi yang memicu semua pertanyaan vital oleh mereka yang pro dan mereka yang kontra. Sisi ini memperlihatkan lingkup dan kualitas masalah-masalah yang dipersoalkan. Kontestasi mengandung pengertian bahwa ada pihak-pihak yang bertentangan sehingga menimbulkan benturan argumentasi. Di dalam lingkup ini, ada pertukaran yang saling bersaing terhadap nilai, fakta, dan kebijakan terhadap sumber-sumber masalah yang memotivasi tindakan-tindakan. Sementara akseptasi mengandung pengertian bahwa ada berbagai pihak atau dua sisi yang menerima sisi-sisi yang disepakati atau disetujui.

Kontestasi memperlihatkan masalah-masalah dari berbagai perspektif yang berbeda dan saling bersaing; apakah setiap aktor menggunakan kata untuk pengertian yang sama dan apa saja yang ada di dalam pemikiran mereka; siapa-siapa yang pro dan dan siapa-siapa yang kontra. Oleh karena itu, mengindentifikasi sebab-sebab kontestasi sangat berguna untuk memperdalam dan mempertajam motif-motif.
Ekonomi syariah adalah hasil pemikiran manusia yang, tentu saja, tak kebal dari kritik. Saya memprediksi, akan selalu ada kontestasi dalam ekonomi syariah, baik secara teoretis maupun praktis, karena idealitas ekonomi syariah tak selamanya sesuai dengan realitas. Cita-cita ekonomi syariah, misalnya menghapus eksploitasi oleh kelompok kuat atas kelompok lemah secara ekonomi, hanya mulia di atas kertas, tapi gagap dalam tataran kenyataan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *