Guru: Antara Substansi dan Administrasi

Oleh: Hendri Purbo Waseso*

Seorang guru kelas SD di Kabupaten Tegal tiba-tiba mengurungkan niatnya untuk dikunjungi kelasnya oleh Fasilitator Sekolah Penggerak dari BBGP Jawa Tengah. Pasalnya, ia merasa tidak siap dan kelelahan karena telah menghabiskan waktu dua hari penuh untuk membuat media yang akan diperagakan dalam pembelajaran di kelas dan hasilnya media tersebut tidak terwujud. Suatu gambaran betapa sulitnya bagi seorang guru menghadirkan pembelajaran yang sesuai dengan keinginan para pengambil kebijakan. Benarkah pembelajaran yang berkualitas itu sangat sulit dilakukan? Apakah guru harus menunggu kunjungan kepala sekolah, pengawas sekolah atau nama lainnya untuk membuat pembelajaran yang berkualitas?.

Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang selalu diperbaiki. Asumsi ini berasal dari kesadaran tinggi seorang guru yang memprioritaskan waktunya untuk menciptakan pembelajaran yang berkualitas seminim apapun perangkat yang dimiliki. Operasionalisasi konsep ini merujuk pada teori pendidikan kritis yang menempatkan tindakan refleksi guru sebagai instrumen utama untuk menciptakan pembelajaran yang transformatif. Pembelajaran transformatif ini merupakan konsep penting dalam rangka menciptakan pembelajaran berkualitas sekaligus menghargai peningkatan kualitas guru meskipun lambat.

Oleh karena itu, sulitnya guru dalam menciptakan pembelajaran yang berkualitas disebabkan oleh terkungkungnya mereka mengenai gambaran ideal pembelajaran yang harus ini dan harus itu, menggunakan ini dan menggunakan itu sehingga guru terasa berat. Padahal teori atau konsep semestinya mampu membuat guru semakin mudah, tidak malah sebaliknya. Jika yang demikian masih terjadi, maka para intelektual dan akademisi dapat dianggap gagal menyajikan konsep dan teori yang dapat membantu guru. Karena hakikatnya, fungsi dari teori itu sesungguhnya adalah memudahkan. Sampai di sini, guru tidak dapat disalahkan secara langsung, bisa jadi teori dan konsep pembelajaran yang berkualitas itu terlalu rumit dipahami.

Kesenjangan antara idealita dan realita memang selalu terjadi. Mendekatkan idealita dan realita pun tidak mudah. Seorang ilmuwan tidak sedang berada di menara gading, pun seorang praktisi tidak berada di hutan belantara. Oleh karena itu, Apple menganggap bahwa teori yang superior terhadap praktik masuk dalam kondisi penindasan. Dunia abstrak dan konkret ini harus disatukan agar tidak terjebak pada relasi kuasa yang lekat dengan penindasan. Artinya, suatu teori atau konsep tidak dapat dilepaskan dari kepentingan-kepentingan tertentu sehingga sulit dikatakan objektif. Posisi inilah kemudian dapat menjadi terminal awal dari suatu upaya merumuskan konsep dan teori yang dapat berfungsi sebagaimana mestinya atau dapat memudahkan para penggunanya. Secara sederhana, guru tidak mengalami kesulitan dalam menciptakan pembelajaran yang berkualitas dengan adanya suatu ilmu dalam bentuk teori atau konsep.

Terdapat beberapa istilah kunci untuk dapat merumuskan secara komprehensif dalam upaya menciptakan pembelajaran yang berkualitas dari perspektif guru yaitu pertama, semua guru adalah filosof. Filosof di sini bukan diposisikan dalam arti seorang guru harus menguasai teori-teori filsafat tertentu, melainkan lebih pada bagaimana seorang guru pandai dalam memaknai setiap aktivitas pembelajarannya bersama siswa. Guru filosof sangat mencintai pekerjaannya sebagai suatu seni, tidak memiliki tekanan, memiliki kebebasan yang diperlukan dan mampu memahami siswanya sebagai manusia. Sikap yang demikian sangat berdampak terhadap cara yang dilakukan oleh guru dalam pembelajaran.

Kedua, guru pembelajar adalah guru ideal. Istilah yang terinspirasi dari Andreas Harefa tentang menjadi manusia pembelajar, guru pembelajar ini senada dengan teori belajar terkini seperti teori belajar konstruktivis yang menempatkan siswa di atas segalanya. Siswa yang diberikan kebebasan penuh dalam mengeksplorasi pengetahuannya sendiri. Guru pembelajar tidak pernah menganggap dirinya saja yang paling benar dan paling tahu. Justru, guru ini akan menjadikan setiap peristiwa pembelajaran di kelas sebagai wahana untuk mencari ide-ide baru dan juga pembelajaran-pembelajaran baru yang dapat ia kembangkan lebih lanjut. Guru pembelajar adalah guru yang reflektif dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi tentang apa yang harus ia lakukan terhadap siswa selanjutnya.

Ketiga, guru sebagai peneliti. Istilah ini dikenalkan oleh Kincheloe yang termasuk ke dalam tokoh pendidikan kritis selain Giroux dan Apple. Ruh utama dari konsep guru sebagai peneliti adalah nalar analitis-kritis yang harus dimiliki oleh seorang guru. Gambaran praktis dari guru sebagai peneliti ditunjukkan dari cara guru menyikapi berbagai macam kebijakan baru seperti pembelajaran dan kurikulum. Guru tidak akan mulai bertindak tanpa pemahaman yang utuh dan sepakat tentang berbagai macam kebijakan baru. Guru seperti ini memiliki filter yang baik dan tidak memahami kebijakan sebagai suatu hal yang dilihat dari boleh dan tidak boleh dilakukan. Mereka memiliki keyakinan yang relatif independen tentang situasi pembelajaran di kelasnya sendiri.

Ketiga kata kunci tersebut jika diinternalisasi oleh guru sebagai sesuatu yang melekat, tidak hanya dipahami secara konseptual sangat jauh dari munculnya persoalan guru di awal tulisan ini. Guru tidak hanya terpaku pada bagusnya media yang disiapkan, canggihnya metode dan strategi pembelajaran yang ditunjukkan dan tampilan pembelajaran yang menarik dilihat. Padahal ketiganya jauh dan tidak berkaitan dengan kebutuhan belajar siswa. Contoh kasus guru di atas menjadi gambaran formalisme pendidikan kita yang butuh solusi dan jawabannya adalah memposisikan guru sebagai filosof, guru pembelajar sekaligus sebagai peneliti.

*Penggerak pendidikan transformatif, tinggal di Purwokerto.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *