Oleh: Sauqi Futaqi*
Akhir-akhir ini, muncul kecenderungan baru bahwa media sosial (medsos) bergeser pada sikap saling provokasi, mengadu, melapor, dan – seringkali– membungkam sikap kritis. Tentu saja, perbedaan pandangan, pendapat, konsepsi seseorang yang dipublikasikan di Medsos sama sekali tidak bisa disamakan dengan HOAX. Ia adalah bagian dari diskursus, yang justru sebenarnya menyediakan berbagai macam perspektif. Hoax adalah kebohongan, sedangkan pandangan dan pendapat adalah originalitas pikiran dan kejujuran. Ini yang harus dibedakan.
Pertama, realitas kemajemukan Indonesia, baik etnis, bahasa, budaya dan agama, belum sepenuhnya dipahami dan disikapi secara positif oleh seluruh warga Negara. Ada sebagian kelompok yang tidak mengakui kebhinekaan sebagai anugerah Tuhan (rahmatullah), sehingga mereka kerap memunculkan sikap yang jauh dari rahmat (kebencian, permusuhan, dan pemecahbelahan). Kedua, sentimen perbedaan masih kerap dimanfaatkan untuk kepentingan yang sebenarnya bukan persoalan perbedaan. Ini bisa kita lihat ketika momentum Pilkada, misalnya, tidak jarang perbedaan agama disulut untuk kepentingan meraih suara.
Kemajemukan agama yang semula tidak menjadi masalah, namun menjadi masalah ketika disalahgunakan pada momentum politik-kekuasaan. Padahal, kontestasi politik yang menjadikan agama sebagai alat politik sebenarnya memperlihatkan kegagalan politisi dalam membangun kapasitas figure yang diusung.
Kenyataan ini harus dipikirkan oleh semua komponen bangsa bagaimana menancapkan pilar Bhineka Tunggal Ika ke dalam jantung peradaban bangsa Indonesia, sehingga ia tahan oleh terjangan berbagai kepentingan, tertuma kepentingan ekonomi dan politik-kekuasaan. Ia tidak mudah disalahgunakan, digoyang, dan dirusak oleh kepentingan kekuasaan, karena Bhinneka Tunggal Ika lebih kuat ketimbang daya kepentingan lain yang daya ledaknya bersifat sesaat.
Sekurang-kuranya, ada tiga cara yang bisa dilakukan untuk menancapkan pilar Bhineka Tunggal Ika. Pertama, Bhineka tunggal Ika harus diperkuat basis filosofisnya dan melegitimasinya dengan akar-akar dan memori-memori historis perjalanan bangsa. Yang dimaksud basis filosofis di sini ingin menegaskan bagaimana pandangan hidup manusia Indonesia. Sedangkan akar-akar dan memori-memori historis akan semakin memperkokoh bangunan kebhinekaan yang kita tegakkan sebagai potensi persatuan dan kesatuan bangsa, sebagaimana pengalaman yang dilaluinya. Melalui sejarah, kita akan mendapati bagaimana keterujian kebhinekaan dalam perjalanannya di bumi nusantara.
Kedua, Bhineka Tunggal Ika harus menjadi warisan utama bagi para generasi penerus bangsa Indonesia. Sarana yang paling strategis dalam mewariskannya adalah melalui pendidikan. Melalui pendidikan berarti kita sedang menyiapkan generasi masa depan. Upaya menyiapkan generasi masa depan menjadi penting dikarenakan kita tidak ingin berlama-lama dalam krisis ke”bhineka tuggal ika”an. Artinya, di masa depan akan lahir generasi yang inklusif, toleran, moderat, cinta damai, dan mampu bersatu dalam perbedaan. Maka, format pendidikan nasional harus membawa misi ke-”bhineka tunggal ika”-an. Dalam hal ini, kita bisa pinjam, misalnya, format pendidikan multikultural sebagai gerakan transformatif pendidikan di Indonesia. Disamping itu, juga perlu pengawasan secara intensif karena dikhawatirkan terdapat beberapa lembaga pendidikan yang sudah dimasuki oleh berbagai ideologi yang menjadi virus perusak kebhinekaan bangsa Indonesia.
Ketiga, Bhineka Tunggal Ika harus menemukan fungsi aplikatifnya di dalam kehidupan masyarakat sehari-sehari. Artinya, berdamai dan bersatu dalam perbedaan adalah – meminjam bahasa Pierre Bourdieu – habitus warga bangsa Indonesia, baik di birokrasi pemerintahan, di sekolah, di pasar, di berbagai institusi sosial, dan di ruang publik. Fungsi ini akan semakin memperjelas bahwa kehidupan dengan berbagai perbedaan akan menjadi lebih indah, variatif, menyejukkan, menyenangkan, dan memudahkan.
Walhasil, semua komponen bangsa perlu merenungkan kembali akan betapa mahalnya kebhinekaan Indonesia ini. Kebhinekaan yang kita miliki tidak akan dapat terbeli, apalagi dengan harta dan kedudukan. Ia murni anugerah dari Tuhan sebagai sumber kekayaan yang amat besar. Sangat disayangkan jika harga yang begitu mahal harus dibayar dengan barang remeh temeh (perebutan kekuasaan), dan apalagi dikorbankan oleh kebencian dan permusuhan.