Nuzulul Quran dan Firman Kebangsaan

Oleh: Sauqi Futaqi
Seperti biasanya umat Islam memperingati peristiwa turunnya al-qur’an (Nuzulul Qur’an) pada setiap tanggal 17 Ramadhan. Turunnya al-qur’an merupakan proses dialektika antara wahyu sebagai kalam Tuhan dengan realitas kosmopolitan. Wahyu Tuhan yang dikemas dalam bentuk bahasa yang dipahami manusia mengisyaratkan adanya keterlibatan Tuhan di dalam urusan kemanusian. Dan tugas tersebut diberikan kepada manusia untuk dapat menjadikan wahyu sebagai pedoman dalam.
Momentum turunnya al-qur’an salah satunya dalam rangka memberikan kerangka acuan dalam mengelola kehidupan manusia. Proses historis (asbabun nuzul) dalam peristiwa pewahyuan mengisyaratkan adanya proses dialektika antara manusia dengan Tuhan karena manusia

Firman Kebangsaan
Firman kebangsaan dalam konteks Indonesia memberikan mandat untuk mengelola sebuah bangsa. Salah satu mandat yang paling jelas termaktub dalam QS Q.S. al-Hujurat ayat 13, yang artinya “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
An-Nawawi (tt:316) dalam tafsirnya menjelaskan bahwa yang dimaksud saling mengenal (ta’aruf) adalah untuk saling memahami dan berbuat baik antara sebagian kelompok dengan sebagian kelompok yang lain karena pada hakikatnya semua manusia berasal dari sesuatu yang satu. Berdasarkan hakikat asal usul manusia inilah, maka perbedaan bukan alasan untuk tidak saling bebuat baik satu sama lain.
Ta’aruf merupakan pintu gerbang kultural untuk membuka pintu akses untuk melakukan langkah-langkah kultural berikutnya dalam membangun kebersamaan kehidupan dengan damai
Keberadaan manusia, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa menunjukkan perhatian Tuhan terhadap eksistensi suatu bangsa. Eksistensi kebangsaan diperlukan bukan dimaksudkan. Maka dalam konteks Indonesia, realitas kebangsaan tidak boleh di
“…makanlah olehmu dari rizki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun”. (QS. Saba’: 15)
Ayat diatas kita harus menikmati nikmatnya Allah dengan di barengi bersyukur. Bersyukur adalah menggunakan nikmtnya Allah pada perkara yang di ridlohi oleh Allah. Apakah bangsa kita sudah menjadikan nikmat yang melimpah di bumi indonesia tercinta ini di jalan yang dirlidohinya atau justru kita menggunakan nikmat tersebut di jalan yang di murkahiNya?
Kalau jelas kita masyarakat indonesia tidak menasarufkan nikmat Allah pada jalan yang di ridlohiNya bahkan menasarufkan pada jalan yang di murkaNya

Spirit Merawat Kebangsaan
Yang perlu direnungkan kembali adalah mengapa Tuhan merasa perlu menurunkan wahyu berupa al-Qur’an. Ini merupakan bentuk kepedulian Tuhan paling empiris melalui penuturan bahasa yang mudah dipahami manusia. Dalam hal ini, Tuhan menyadari aspek kebudayaan manusia, oleh karenanya Ia menurunkan al-qur’an dengan memakai unsure kebudayaan sebagai perantara antara kalam Tuhan yang abadi dan bahasa manusia sehari-hari.
Ayat-ayat kauniyah yang tersebar di alam semesta seringkali tidak membangkitkan rasa ketakjuban kepada sang Pencipta, sehingga Tuhan merasa perlu untuk mengingatkan melaui tanda berupa bahasa, yang dianggap mudah dibaca. Padahal, tanda-tanda kebesaran Tuhan, sebenarnya sudah diciptakan melalui banyak medium alam semesta.
Dengan demikian, spirit nuzul qur’an harus bisa menjadi pengingat bagi manusia yang mulai tidak mensyukuri rahmat berupakan keutuhan bangsa Indonesia. Segenap kekayaan di bumi pertiwi adalah segenap tanda yang harus disapa, dikenali, dan diberdayakan, bukan diekspoitasi habis-habisan tanpa memandangnya sebagai pantulan Tuhan.
Firman kebangsaan hendak menegaskan tanggungjawab manusia untuk merawat kebangsaan. Nilai-nilai kebangsaan pada dasarnya merupakan turunan dari nilai-nilai ketuhanan, dimana keberadaan sebuah bangsa merupakan takdir Tuhan, tinggal sejauhmana manusia mau dan mampu mengenali eksistensinya sebagai warga bangsa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *