Oleh: Sauqi Futaqi*
Orang tidak akan mempertentangkan Pancasila dan agama jika mau belajar dari puasa. Hakikat puasa terletak pada dimensi transendensi dan humanisasi. Output-nya adalah keadilan sosial bagi semua golongan. Ketiganya bisa kita temukan dalam Pancasila.
Pertama, puasa adalah peristiwa transendensi yang menggambarkan relasi manusia dan Tuhan. Relasi ini diungkapkan Tuhan dengan kalimat “Puasa adalah untukku, dan aku sendiri yang membalasnya”. Sebuah ungkapan kemesrahan yang melampaui batas kalkulasi manusia. Dimensi ini tercantum pada sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Sejak awal kesadaran akan dimensi transendensi tersebut sudah terbangun dalam pikiran para pendiri bangsa. Dalam pidatonya, Soekarno berkata, “…Tetapi, marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia adalah Negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama”. Dan, hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan”. (dalam Yudi Latif, 2011:75)
Dengan demikian, berbagai permasalahan bangsa, seperti ujaran kebencian, kekerasan, terorisme, korupsi dan ketidakadilan dalam beragam bentuknya sebenarnya berakar dari krisis transendensi, yakni ketadakmampuan para pelakunya untuk melampaui batas-batas kepentingan pribadi dan golongan. Pola pikir transendensi hendak melampuai sekat-sekat perbedaan, dan menyentuh cara pandang yang menyeluruh. Dalam hal ini, Mutahhari memberikan pandangan teologis yang menarik bahwa alam semesta itu unipolar dan uniaksikal; bahwa alam semesta pada esensinya berasal dari Tuhan (inna lillahi) dan kembali kepada-Nya (inna lillahi raji’un) (Muthahhari, 1985:74). Pola pikir transendensi juga akan berkontribusi dalam mengatasi hambatan atau keterbatasan hubungan yang disebabkan perbedaan keyakinan, agama, aliran dalam internal umat beragama, budaya, adat istiadat, kedaerahan, dan perbedaan lain yang melekat pada setiap warga negara.
Baca Juga: Nuzulul Quran dan Firman Kebangsaan
Kedua, puasa juga merupakan proses humanisasi, karena ia mengajarkan bagaimana menjadi manusia. Hakikat manusia terletak pada dialektika antara akal dan nafsu, antara jiwa dan raga. Oleh karenanya, spirit puasa adalah belajar mengendalikan diri agar tidak terjerumus pada nafsu kebinatangan. Ketika manusia kehilangan kendali diri, maka disitulah manusia kehilangan kemanusiaannya.
Dimensi kemanusian puasa juga memberikan pelajaran penting bagi manusia untuk selalu bersikap empati terhadap orang lain, terutama kelompok lemah dan marginal. Dalam puasa, manusia sebenarnya berhak makan, minum, dan berhubungan suami-istri, namun dididik Tuhan untuk mendahulukan kewajiban dengan menangguhkan haknya selama waktu yang ditentukan. Manusia sebanarnya bebas menggunakan haknya, namun di balik haknya terdapat kewajiban yang harus dijalankan.
Ketiga, Puasa juga merupakan peristiwa kebersamaan untuk merawat persatuan. Nilai ini terletak pada universalitas ajaran puasa. Ajaran Tuhan tidak mengenal warna kulit, etnis, dan status kekayaan, melainkan diikat oleh suatu ajaran. Dialektika vertikal manusia-Tuhan dalam ritual puasa menunjukkan kedudukan yang setara di antara sesama manusia.
Ajaran kebersamaan dan persatuan dalam puasa juga tampak pada anjuran untuk menahan amarah, fitnah, menggunjing, menyakiti orang lain, dan segala sikap yang dapat menimbulkan permusuhan dan perpecahan. Sebagai konsekuensinya, melanggar anjuran tersebut bisa berakibat kegagalan dalam meraih pahala puasa. Oleh karenanya, puasa adalah edukasi bagi manusia untuk selalu merawat persatuan.
Keempat, puasa juga memuat kerangka etis hikmat-kebijaksanaan. Dalam ritual puasa, orang diajarkan untuk menanggalkan egoisme personal agar dapat duduk bersama dalam mencapai kemaslahatan bersama. Misalnya soal displin waktu puasa, baik penetapan awal dan akhir puasa, maupun batas menahan dan berbuka, bisa terjadi ketegangan manakala tidak dilandasi kerangka etis hikmat-kebijaksanaan dalam bermusyawarah.
Baca Juga: Ramadhan dan Spirit Kebangsaan
Kelima, keadilan sosial merupakan derajat puasa tertinggi. Semua ritual ibadah harus melahirkan output sosial yang positif. Sebanyak apapun akumulasi ibadah yang dilakukan manusia, akan sia-sia jika tidak melahirkan keadilan bagi semua manusia. Artinya, kesuksesan orang beragama bukan terletak pada kuantitas ritual ibadahnya, melainkan pada kualitas prilaku kesehariannya. Dan puasa mengajarkan seseorang untuk melahirkan prilaku yang mencerminkan keadilan.
Dengan demikian, pancasila pada dasarnya mengandung nilai kebajikan yang terangkum dalam ritual puasa. Semakin tinggi derajat keagamaan seseorang semakin tinggi kesadaran dan kepeduliannya sebagai warga Negara. Pancasila merupakan dasar bernegara. Ia bersumber dari pikiran yang jernih, spiritualitas yang murni, dan tujuan yang suci. Dengan mendalami subtansi puasa, orang semakin mengerti makna beragama, berbangsa dan bernegara.