Pendidikan Masa Depan

Oleh: Sauqi Futaqi*

Pendidikan seringkali dikembangkan berdasarkan paradigma yang oleh beberapa pemikir dan pengamat pendidikan diistilahkan dengan pendidikan berbasis realitas. Dalam pandangan ini, pertimbangan-pertimbangan dalam formulasi pendidikan harus didasarkan pada kondisi realitas yang sedang dihadapi masyarakat. Bisa dikatakan, ada kecenderungan bahwa pendidikan yang selama ini dijalankan di negara kita bertumpu pada paradigma ini.

Walhasil, pendidikan diarahkan untuk mencapai target yang dibutuhkan oleh anak didik dalam menghadapi realitasnya. Pendekatan yang digunakan berbasis kebutuhan (demand approach). Misalnya saja, sekarang ini kita dihadapkan pada logika ekonomi industri. Pendidikan diarahkan untuk mencapai standar lulusan yang mampu terserap oleh lapangan kerja atau industri. Atau karena maraknya korupsi – yang pemberantasannya harus dimulai dari pembinaan terhadap generasi muda, degradasi moral di kalangan pemuda, krisis kebudayaan lantaran derasnya gelombang informasi, dan berbagai tindakan kekerasan yang mencuat di beberapa tempat, pendidikan dituntut untuk memaksimalkan pembentukan karakter (character Building) .

Respon dunia pendidikan terhadap realitas masyarakat ini secara tidak langsung menempatkan pendidikan sebagai ujung tombak bagi penuntasan masalah yang sedang dihadapi. Hal ini berarti juga pendidikan diyakini sebagai solusi paling mujarab untuk mengeluarkan dari berbagai permasalahan tersebut. Sensibilitas terhadap realitas juga menjadi taruhan bagi dunia pendidikan, apakah ia peka terhadap realitas atau justru mengambil jarak tegas dengan realitas.

Paradigma pendidikan seperti ini memungkinkan adanya tuntutan capaian-capaian secara praktis yang bisa dimanfaatkan anak didik dalam menghadapi realitas. Perangkat pengetahuan dan keterampilan diharapkan agar para lulusan lebih mudah terserap di dunia kerja. Sehingga, pendidikan praktis seperti terapi mental dan keterampilan sebagai jawaban atas berbagai kenyataan-kenyataan pasar yang dominan.
Tentu saja setiap pandangan dan orientasi pendidikan membawa konsekuensi tersendiri. Namun, jika pendidikan dijalankan berdasarkan realitas yang saat ini berjalan, bagaimana dengan kemungkinan-kemungkinan di masa depan? Dengan berpijak pada realitas, apakah realitas ini harus diikuti secara membabi buta atau kita mengandaikan adanya pembentukan realitas yang baru? Ini lah yang perlu menjadi pertimbangan tambahan untuk menjalankan pendidikan. Artinya, bertumpu pada realitas merupakan satu pandangan yang cukup penting, namun pendidikan sebagai investasi masa depan menuntut adanya pembentukan masa depan sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan.

Tanpa Harapan

Menyusuli pertanyaan di atas, kita perlu menyadari bahwa kehidupan senantiasa bergerak secara dinamis. Bahkan, pergerakan itu semakin berjalan cepat. Apa yang menjadi fokus hari ini terkadang di masa depan sudah tidak lagi menjadi fokus yang paling dipertimbangkan. Kenyataan ini sebenarnya sudah diperingkatkan jauh-jauh hari oleh Alvin Toffler pada tahun 1970 dalam menanggapi ledakan pengetahuan dan teknologi yang amat cepat dalam karya terlarisnya Future Shock. Menurut Toffler, sekolah-sekolah lebih sibuk mengurusi sebuah sistem yang mati daripada menangani masyarakat baru yang sedang tumbuh. Energi besarnya dipergunakan untuk mencetak “manusia industrial”, yaitu manusia yang disiapkan untuk bisa hidup dalam sistem yang mati sebelum mereka eksis. Untuk membantu mencegah kegagapan masa yang akan datang, kita harus menciptakan sebuah sistem pendidikan superindustrial. Maka dari itu, kita harus mencari tujuan-tujuan dan metode-metode di masa akan datang, bukan justru di masa lalu.

Dengan hanya berkutat pada persoalan hari ini, apalagi dengan tujuan dan metode yang usang, sekolah hanya merupakan anakronisme yang tanpa harapan. Sekolah tidak mengharapakan lahirnya manusia baru dengan pola pembentukan yang sesuai dengan harapan anak didik. Setiap insan pasti memiliki harapan-harapan yang besar. Maka, harapan itu lah saatnya menjadi spirit dan modalitas untuk membangun masa depan. Maka dari itu, perlu adanya terobosan baru sistem pendidikan yang melahirkan bayangan-bayangan masa depan yang berangkaian dan alternatif sehingga peserta didik dan guru memiliki sesuatu untuk mengarahkan perhatian mereka dalam aktivitas pendidikan.

Merangkai Masa Depan

Barangkali semua kalangan sepakat bahwa pendidikan merupakan investasi masa depan. Ia merupakan perangkat yang nantinya akan digunakan anak didik untuk menghadapi masa depannya. Masa depan berupa kemungkinan-kemungkinan. Kemungkinan bisa jadi berlawanan dari apa yang diharapkan. Maka, untuk meminimalisir keberlawanan itu, sebuah harapan mengharuskan adanya konsistensi dan intensifikasi dalam mewujudkannya. Harapan bukan lah mimpi, melainkan gambaran masa depan yang saat ini belum berwujud nyata.

Bagi kalangan yang memperhatikan masa depan, tujuan pendidikan akan diarahkan untuk membantu menyiapkan warga untuk merespon perubahan dan membuat pilihan-pilihan cerdas mengingat umat manusia bergerak ke masa depan yang mempunyai lebih dari satu kemungkinan konfigurasi (George R. Knight, 2007;192). Kemungkinan konfigurasi ini akan semakin bervariatif tinggal sejauhmana pengelola pendidikan bekerja secara maksimal dalam upaya mewujudkannya.

Pilihan-pilihan yang diputuskan oleh dunia pendidikan dalam banyak hal akan menentukan seperti apakah dunia yang diharapkan. Menjadi insan yang mandiri sesuai dengan yang diharapkannya atau menjadi insani yang hanya berebut kursi masa depan yang dibentuk dan disediakan oleh segelintir orang. Ini lah yang perlu menjadi pertimbangan tambahan dalam menjalankan pendidikan, tidak hanya bagi pengambil kebijakan, tetapi juga bagi guru, para orang tua, dan siapa saja yang peduli terhadap masa depan generasi bangsa. Dengan semangat ini lah, kiranya kita bisa memperkirakan seperti apakah peradaban bangsa ini di masa yang akan datang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *