Kali ini, umat Islam harus berpikir kembali bagaimana menempatkan bulan suci ini tidak hanya sebagai renungan keislaman melainkan juga kebangsaan. Renungan ini menjadi penting, disamping ingin menampilkan sikap Islam yang suci, juga ingin merespon berbagai ujaran kebencian dan tindakan radikal yang justru mengotori kesucian itu sendiri.
Spirit Ramadhan
Ada banyak makna yang terkandung di dalam bulan suci ramadhan ini. Pertama, bulan ramadhan sebenarnya mempunyai makna pembakaran terhadap segala keburukan dan dosa. Ini juga berarti pemberantasan segala bentuk tingkah laku dan tindakan yang mencerminkan nafsu keserakahan, nafsu kesombongan, dan nafsu kebinatangan lainnya. Dalam makna ini, kehidupan berbangsa tidak akan mengalami perpecahan jika semua komponen bangsa terhindar dari segala nafsu ini.
Ini merupakan momentum untuk melakukan muhasabah/instropeksi (ihtisaban) kebangsaan. Momentum ini memerulkan iktikat untuk membuka semua kotak “Pandora”, dimana segala kejahatan, kebejatan, dan kesalahan harus dibuka dengan sejujurnya agar semua warga bangsa mengenali apa permasalahan sesunggungnya. Dengan cara demikian, maka kita tahu siapa diri kita.
Kedua, makna yang terdalam sebenarnya adalah bahwa bulan ramadhan adalah bulan suci dan karenanya merupakan momentum mensucikan diri. Dalam terminology agama, kesucian terletak pada pengalaman agama secara hakiki. Ia tidak boleh disusupi dengan segala atribut dan kepentingan yang mengotori. Ini berarti melakukan ibadah tidak boleh disusupi dengan kepentingan di luar ilahi. Ia harus murni terhindar dari sifat-sifat yang justru mengotori, semisal popularitas, pencitraan, apalagi motif financial dan jabatan.
Transformasi Kebangsaan
Kehidupan kebangsaan yang selama ini dibicarakan, seperti persatuan dalam kebhinekaan, keadilan, tidak akan kunjung habis jika tidak diwujudkan dalam praksis kehidupan. Meski wacana demi wacana digaungkan, jika tanpa adanya perubahan sikap hidup masyarakat maka rasanya sulit menggapai cita-cita kebangsaan.
Anggapan tersebut kiranya cukup beralasan, karena dalam kecenderungan realitas kebangsaan saat fenomena keagamaan misalnya mudah dipelintir dengan semangat kepentingan – jika mau jujur – di luar subtansi keagamaan. Ritual keagamaan digelar seperti sekeder formalitas keumatan yang tidak dibarengi dengan komitmen dan integritas keumatan. Walhasil fenomena keagamaan hanya ramai di permukaan, namun kering akan nilai-nilai keagamaan.
Maka, dalam anomali dan krisis keagamaan semacam ini, ramadhan kembali hadir untuk mengingatkan betapa keber-puasa-an kita masih sebatas ritual formal yang kering akan subtansi menahan diri dari segala godaan nafsu (korupsi, saliang membenci, menebar fitnah, dan radikalisme) yang menjerumuskan. Padahal, jika kita mau menengok kembali ajaran tentang puasa, maka yang dinilai sesungguhnya adalah sikap batin dan tindakan kita, apakah ia bergerak menuju kebaikan atau malah menimbulkan kerusakan.
Dengan demikian, puasa memiiki makna revolusioner. Sebuah sikap untuk tidak tergoda terhadap kepentingan kekuasaan. Ia harus terbebas dari mental pencitraan, dengan bergerak menuju mental.