Oleh: Yessika Destiana Lahabu*
Dalam dunia pendidikan, istilah “siswa nakal” sering kali muncul untuk menggambarkan perilaku yang dianggap menyimpang dari norma yang diterima di sekolah. Namun, jika kita menggali lebih dalam, kita akan menemukan bahwa perilaku yang dianggap nakal sebenarnya adalah manifestasi dari kebutuhan yang tidak terpenuhi, terutama kebutuhan akan perhatian. Refleksi ini bertujuan untuk mengeksplorasi konsep bahwa tidak ada siswa yang benar-benar nakal; yang ada hanyalah siswa yang memerlukan perhatian lebih.
Perilaku siswa di kelas sering kali mencerminkan berbagai faktor yang mempengaruhi kehidupan mereka di luar sekolah. Beberapa siswa mungkin menghadapi tantangan besar di rumah, seperti masalah keluarga, tekanan sosial, atau kurangnya dukungan emosional. Ketika kebutuhan dasar seperti kasih sayang, rasa aman, dan perhatian tidak terpenuhi, siswa mungkin mencari cara untuk mendapatkan perhatian, bahkan jika itu berarti berperilaku negatif di sekolah. Siswa yang mengalami ketidakstabilan di rumah, seperti konflik orang tua atau kondisi ekonomi yang sulit, sering kali menunjukkan perilaku yang dianggap nakal sebagai cara untuk mengekspresikan perasaan mereka. Mereka mungkin merasa diabaikan atau tidak didengar di rumah, sehingga mencari perhatian di sekolah dengan cara yang salah.
Beberapa siswa mungkin mengalami masalah emosional atau psikologis seperti depresi, kecemasan, atau trauma. Perilaku mereka di sekolah bisa jadi adalah panggilan minta tolong yang tidak diucapkan. Ketidakmampuan mereka untuk mengekspresikan perasaan secara konstruktif bisa terlihat sebagai kenakalan. Guru harus mengembangkan kemampuan untuk memahami latar belakang siswa dan situasi yang mempengaruhi perilaku mereka. Dengan menggunakan pendekatan empati, guru bisa lebih peka terhadap tanda-tanda bahwa seorang siswa memerlukan perhatian lebih. Salah satu cara terbaik untuk mengatasi perilaku yang dianggap nakal adalah dengan membangun hubungan yang kuat dan positif dengan siswa. Ketika siswa merasa dihargai dan diperhatikan, mereka lebih cenderung menunjukkan perilaku positif. Guru dapat mengalokasikan waktu untuk mendengarkan siswa, menunjukkan minat pada kehidupan mereka, dan memberikan pujian yang tulus.
Setiap siswa unik, dan pendekatan satu ukuran untuk semua tidak efektif. Guru harus menyesuaikan pendekatan mereka berdasarkan kebutuhan individu siswa. Misalnya, seorang siswa yang lebih introvert mungkin memerlukan perhatian melalui percakapan pribadi, sementara siswa yang ekstrovert mungkin memerlukan pengakuan publik atas prestasinya. Menggunakan kegiatan yang melibatkan kerjasama dan interaksi dapat membantu siswa merasa lebih terlibat dan diperhatikan. Kegiatan seperti proyek kelompok, diskusi kelas, dan permainan edukatif dapat memberikan siswa kesempatan untuk berpartisipasi aktif dan merasa dihargai.
Terkadang, dukungan dari konselor sekolah atau psikolog diperlukan untuk membantu siswa yang memiliki masalah lebih mendalam. Guru harus bekerja sama dengan profesional ini untuk memastikan bahwa siswa mendapatkan perhatian dan bantuan yang mereka butuhkan. Label “nakal” hanya memperburuk masalah dengan memperkuat citra negatif tentang diri siswa. Sebaliknya, guru dan sekolah harus fokus pada potensi positif dan peluang untuk perbaikan. Menggunakan bahasa yang positif dan konstruktif dapat membantu mengubah cara siswa melihat diri mereka sendiri. Sekolah harus menjadi tempat di mana setiap siswa merasa aman, diterima, dan dihargai. Lingkungan yang inklusif dan suportif akan mendorong siswa untuk berperilaku positif dan aktif dalam pembelajaran. Sekolah harus mengadopsi kebijakan yang mendukung inklusivitas dan kesejahteraan emosional semua siswa.
Saat ini saya seorang walikelas di salah satu MIN yang ada di Manado, contoh nyata adalah ada satu siswa saya yang sering mengganggu teman kelasnya dan tidak mengerjakan tugasnya. Setelah saya dekati dan menanyakan dari hati ke hati ternyata siswa tersebut mengalami masalah di rumah dengan orang tuanya yang bercerai dia hanya tinggal Bersama neneknya. Dengan memberikan perhatian lebih melalui bimbingan dan dukungan emosional, perilaku siswa tersebut berubah drastis menjadi lebih positif. Sebagai seorang guru, saya pernah menghadapi seorang siswa yang selalu berkelahi dengan teman-temannya. Setelah beberapa kali berinteraksi dan mendengarkan cerita hidupnya, saya menemukan bahwa siswa tersebut merasa diabaikan di rumah. Dengan memberikan perhatian lebih dan melibatkan siswa dalam berbagai kegiatan positif, perilaku agresifnya berkurang dan ia mulai menunjukkan perubahan positif dalam sikap dan prestasi akademiknya.
Mengakui bahwa tidak ada siswa yang benar-benar nakal, melainkan hanya siswa yang membutuhkan perhatian, adalah langkah pertama menuju pendidikan yang lebih manusiawi dan efektif. Guru memiliki peran penting dalam memberikan perhatian yang dibutuhkan siswa untuk berkembang secara akademis dan emosional. Dengan pendekatan empati, membangun hubungan yang kuat, dan mengadopsi strategi yang sesuai dengan kebutuhan individu, guru dapat membantu siswa menemukan potensi terbaik mereka dan mengatasi perilaku negatif. Pada akhirnya, setiap siswa berhak mendapatkan perhatian dan dukungan yang mereka butuhkan untuk menjadi pribadi yang sukses dan bahagia.