Oleh Much. Khoiri
Istilah persistensi di sini dimaknai sebagai kegigihan, yakni kemampuan yang kukuh atau daya tahan yang kuat dalam melakukan suatu tindakan secara terus-menerus, meskipun ada tantangan atau kesulitan. Orang yang persisten adalah dia yang tidak mudah menyerah dalam memperjuangkan apa yang ingin diwujudkannya.
Sekadar ilustrasi, orang yang belajar naik sepeda perlu persistensi agar segera mampu mengendarai sepeda itu dengan benar dan lihai. Adakah tantangan atau kesulitan saat berlatih? Tentu saja, dia mengalami semua itu. Bahkan dia mungkin terjatuh, bukan hanya sekali, melainkan berkali-kali. Mungkin saja, akibah terjatuh itu, dia mengalami luka atau sakit di tubuhnya dan kekesalan dalam pikirannya.
Kalau dia memang pembelajar sepeda yang gigih (persisten), dia tidak akan takut tantangan dan kesulitan—apa pun bentuknya. Dia akan atasi semua tantangan dan kesulitan yang ada. Bahkan, jika dia jatuh, dia akan bangkit lagi. Yang penting, bukan berapa banyaknya dia terjatuh, melainkan seberapa sering dia bangkit dari kejatuhan itu. Dia bangkit karena ada harapan untuk berhasil.
Tetapi adakah pembelajar sepeda yang gagal? Tentu saja ada. Jika dia akhirnya gagal, itu pastilah karena dia tidak gigih dalam belajar, dan mudah menyerah atas tantangan dan kesulitan yang dihadapi. Jatuh diidentikkan dengan tanda kegagalan, sehingga dia tidak bangkit lagi—malah takut untuk bangkit. Maka, gagallah dia sebagai pembelajar sepeda, bahkan gagal sejak dalam pikiran.
Demikian pun menulis. Orang yang belajar menulis juga harus persisten, agar dia mampu mewujudkan keinginan untuk menulis (atau menjadi penulis) yang bagus. Di dalam prosesnya, pastilah ada tantangan dan kesulitan. Mungkin dia gagal menghasilkan tulisan benar dan bagus, itu sangat wajar. Tidak ada penulis berpengalaman yang tiba-tiba sudah jadi seperti sekarang ini: Mereka pastilah telah melewati aneka tantangan dan kesulitan menulis di masa lampau. Tidak ada yang instan dalam setiap proses, termasuk dalam proses menulis.
Baca Juga: Aku dan Budaya Membaca
Tantangan dan kesulitan menulis pastilah beragam. Ada masalah teknis menulis (ide, pengorganisasian, bahasa), ada pula masalah lain semisal motivasi menulis yang goyah, pandangan negatif orang lain terhadapnya, kritik tajam yang diarahkan kepadanya, ekosistem menulis yang tidak kondusif, kebermanfaatan yang kecil dari menulis, dan masih banyak lagi. Kesibukan termasuk pada _ranking_ paling top. Ringkasnya, ada banyak tantangan yang menghadang.
Kalau mau menghalau tantangan dan kesulitan itu, dia berhasil menaklukkannya—dan dia pastilah menjadi penulis yang diinginkan. Harapan masih lebih kuat dari tantangan yang dihadapi. Sebaiknya, kalau dia selalu mengedepankan keluhan dan kilah untuk tidak menulis, pintu kegagalan sudah terbuka semenjak dalam pikiran.
Sewaktu masih muda saya memiliki teman-teman komunitas menulis sastra/budaya, bahkan mengelola majalah kebudayaan. Kami sangat bersemangat kala itu, bukan hanya menulis, melainkan juga berdiskusi dengan aneka topik tentang bagaimana menebarkan literasi menulis ke berbagai kalangan. Bertahun-tahun kami bersaudara dalam dunia literasi dan kebudayaan. Betapa indahnya impian kami saat itu. Namun, waktu berjalan begitu cepat, masing-masing memiliki kesibukan masing-masing, dalam sektor pekerjaan yang berbeda. Apa yang terjadi? Sebagian besar tenggelam dalam pekerjaan dan urusan domestik masing-masing. Hanya sedikit saja yang tetap menempuh jalan yang jarang dilalui oleh kebanyakan masyarakat, yakni dunia menulis.
Saya sendiri memilih jalan yang jarang dilalui itu—dunia menulis yang penuh lorong-lorong gelap dan kadang menakutkan. Dunia yang kerap memaksa saya untuk menyelami kedalaman lautan, bukan hanya riak-riak dan gelombang permukaannya. Saya hanya yakin akan dua baris puisi Robert Frost “The Road Not Taken”: _I took the one less traveled by, And that has made all the difference. (Kuambil jalan yang jarang dilalui, dan itu telah membuatku istimewa dari lainnya.)
Jadi, begitulah dunia menulis. Ia menuntut pembelajarnya memiliki persistensi, bukan inkonsistensi atau ketidakpedulian ( _indifference_). Jika orang tidak memiliki persistensi, ada baiknya tidak terlalu berharap banyak dengan kemajuan yang akan diperolehnya. Pastilah ada kemajuan yang dicapai dengan persistensi ala kadarnya, namun kemajuan itu pastilah juga ala kadarnya.
Saya mengajak Anda menjadi pembelajar menulis yang memiliki persistensi tinggi. Silakan bangun impian yang kuat, motto yang dahsyat, semangat yang membara, agar tetap terjaga persistensi itu. Mari berjumpa pada suatu _maqam menulis_ di mana kita sama-sama menikmati setiap genre tulisan—sebagaimana Chef Juna, Chef Renata, dan Chef Arnold mampu menilai setiap masakan Master Chef Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini.
*Much. Khoiri (nama pena dari Dr. Much. Koiri, M.Si.) adalah dosen, sponsor literasi, editor/penulis berlisensi, menulis 74 buku. Tulisan ini pendapat pribadi.