Aku dan Budaya Membaca

Saya tidak ingat betul kapan saya mulai suka membaca. Yang saya ingat, saya sangat suka membaca cerita-cerita rakyat yang terdapat dalam buku kecil hadiah dari sebuah produk susu bubuk. Kemudain hobi saya yang gemar menonton sepak bola, membuat saya setiap hari selalu menyempatkan diri untuk membaca berita olahraga di koran. Berawal dari berita olahraga saya mulai membaca berita tentang perkembangan kota saya, kemudian berlanjut ke berita ekonomi dan politik. Pada akhirnya saya membaca semua segmen di koran.

Buku pertama yang saya baca tuntas adalah buku cerita anak.  Buku itu berlatar belakang kehidupan anak kecil pada sebuah desa yang terletak di benua biru. Waktu itu saya berada dalam jenjang Pendidikan SMP. Yang saya ingat dari buku itu adalah satu hal. Ketika saya menyelesaikan buku tersebut, ada rasa rindu yang bisa saya rasakan tentang suasana desa yang ada pada cerita. Sekian lama selama bertahun-tahun saya tidak pernah membaca buku cerita hingga Andrea Hirata dengan tetralogi Laskar Pelanginya yang mengguncang tanah air. Waktu itu saya berada di kelas 3 SMA. Kemudian aktivitas membaca ini berlanjut hingga berada di bangku kuliah dengan buku-buku dari NH Dini, Toer, Tohari dll. Pada titik ini saya benar-benar jatuh cinta pada karya sastra.

Budaya Literasi

Ada momen ketika saya berkuliah, saya menghadiri seminar internasional dan pembacaan puisi dari dua Bahasa secara bergantian dan bersamaan, kolaborasi antara sastrawan Indonesia dan Sastrawan Jerman. Seperti yang kita tau pada umumnya, pembacaan puisi dalam Bahasa Indonesia yang ditampilkan oleh sastrawan Indonesia benar-benar membuat perhatian seluruh ruangan mengarah pada sang pembaca. Semua orang menyaksikan dengan seksama mulai cara membaca dengan intonasi mendayu hingga menggelegar, dari Gerakan lemah lembut hingga agresif. Penampilan pembacaan puisi yang benar-benar membuat saya terpanah. Disisi lain, sastrawan Jerman membaca puisi dengan suara cenderung datar, tidak ada suara menggelegar yang mengagetkan pendengar. Hanya saja dia menekankan intonasi pada beberapa kata untuk menunjukan rasa dan pikiran penulis yang sekaligus pembaca puisi. Perbedaan gaya pembacaan puisi ini menarik bagi beberapa peserta seminar. Tanggapan sastrawan Jerman tentang gaya membaca puisinya cukup menarik bagi saya, “di Jerman, setiap kali acara pembacaan puisi, audien menyimak bacaan puisi yang ada ditangannya. Mereka tidak fokus melihat pembaca. Tetapi menyimak dengan memperhatikan teks puisi. Karena memang kami membaca puisi, bukan bermain teater.” Jawaban ini cukup menampar bagi saya. Memang di Jerman, ketika acara membaca puisi atau novel, para audien dan pembaca sama-sama menunduk memperhatikan tulisan yang dibaca pembaca. Kalo kita yang berada di Indonesia, lebih tertarik memperhatikan penampilan pembaca, kalo mereka lebih tertarik menyelami makna bacaan pada teks. Disini kita sudah bisa melihat jurang literasi antara kedua budaya.

Baca Juga: Presistensi dalam Menulis

Memupuk Budaya Literasi

Tidak ada yang menyangkal tentang pentingnya membaca. Sayapun merasa tertinggal dalam hal membaca. Saya tidak ingin itu terjadi pada anak saya. Sedini mungkin saya mengenalkan anak saya dengan buku. Setidaknya dalam satu kali seminggu, saya berusaha meyempatkan membacakan cerita untuk anak saya. Keinginan kuat ini menjadi semakin kuat bermula 3 tahun lalu saat saya, istri dan anak tinggal di negeri Kanguru. Anak saya lahir di Australia, tepatnya di kota Melbourne. Disana budaya membaca benar-benar ditanamkan sejak dini. Di perpustakaan yang berada di wilayah tempat tinggalku, mereka punya banyak program untuk memupuk budaya literasi sejak dini. Ada ruang khusus anak dimana di dalamnya terdapat banyak mainan edukasi dan program-program untuk mendorong anak mencintai literasi. Dimulai kegiataan story telling terjadwal dua kali dalam satu minggu. Disini akan dibagi berdasakan usia sebelum sekolah dan usia sekolah. Kemudian ada juga program 1000 books before school. Perpustakaan memiliki banyak buku-buku anak mulai jenjang yang paling kecil, yaitu kelompok umur 0-1 tahun untuk mendukung program 1000 books before school ini. Tentu program ini tidak saya lewatkan begitu saja. Kami mengikuti program ini dengan seksama. Kami benar-benar terinspirasi dengan cara negeri kanguru memupuk generasi mereka untuk melek literasi.

Anak-anak di Australia Sedari masuk TK, sudah diperkenalkan dengan cerita pendek. Mereka diajak untuk memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh tokoh dalam cerita yang dibacakan oleh gurunya, diajak untuk menebak apa yang selanjutnya terjadi pada cerita dan diajak menceritaklan kembali hal-hal apa saja yang ada di cerita. Memasuki jenjang sekolah dasar, anak akan mulai diajak untuk membaca buku dalam grup kecil yang dipandu oleh seorang guru, mereka mempratikkan membaca secara mandiri, kemudian diajak untuk mengidentifikasi ide dan detail cerita. Yang terakhir mereka dipandu untuk menuangkan pikiran dalam tulisan. Berawal dari 1 sampai 3 kalimat dan seterusnya. Apa yang negeri kanguru lakukan membuat setidaknya budaya literasi akan terus mengakar dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Literasi Bekal Masa Depan

Jerman dan Australia telah membuktikan kemajuan negeranya salah satunya karena di topang oleh budaya literasi yang mengakar. Untuk negari kita sendiri dalam urusan kemakmuran kita tau dimana posisi negeri ini, itu berbanding lurus dengan hasil survey yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019 dimana Indonesia menempati peringkat 62 dari 70 negara yang disurvey. Selain akhlak dan tingkah laku, saya juga ingin membekali anak saya dengan budaya literasi. Pengalaman kecil saya yang minim literasi dan melihat sendiri pembekalan literasi yang ada di negeri jiran, membuat saya tak ingin ketinggalan. Saat ini saya belum bisa memberi sumbang kasih tentang budaya literasi pada masyarakat. Namun setidaknya saya mulai dari keluarga kecil saya. Dan kedepannya berharap bisa sedikit membantu menghidupkan budaya literasi dalam masyarakat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *