Oleh Ahmad Ubaidillah*
Salah satu ciri penting sistem ekonomi syariah adalah dihapuskannya bunga dari aktivitas ekonomi. Penghapusan bunga, khususnya di lembaga-lembaga keuangan, adalah ambisi para pendukung ekonomi syariah. Mengapa bunga dihapuskan? Karena, menurut mereka, bunga dianggap riba, dan riba itu diharamkan Alquran, sebagaimana tertulis dalam Surat Al-Baqarah ayat 275: “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Apakah upaya negara-negara di dunia, khususnya Indonesia, yang menerapkan sistem ekonomi syariah, baik sebagian maupun keseluruhan, telah berhasil menghapuskan bunga dari perekonomian? Tidak belebihan kalau kita mengatakan belum. Kita baru berhasil membuat perubahan kosmetik saja. Satu-satunya keberhasilan yang kita capai sejauh ini barulah sekadar mengubah nama bunga menjadi istilah margin atau profit and sharing dalam akad murabahah atau mudharabah.
Produk keuangan syariah memang dipasarkan tanpa bunga. Namun, Timur Kuran dalam buku Islam & Mammon: The Economic Predicaments of Islamism (2004), menjelaskan: “Murabahah, mekanisme peminjaman yang paling populer di bank Islam, hanyalah tipu muslihat kuno. Murabahah mengandung transaksi bebas bunga yang juga menghasilkan bunga.”
Banyak pemerhati ekonomi syariah telah berbicara tentang hal ini. Ekonom Islam Pakistan, Khurshid Ahmad, seorang penulis produktif yang memegang posisi berpengaruh di komisi-komisi penting pemerintah yang bertugas mengarahkan Islamisasi ekonomi Pakistan, secara terbuka mengkritik bank syariah di negaranya, dengan mengatakan bahwa 99 persen bisnis mereka masih berdasarkan bunga.
Muhammad Saleem dalam karya Islamic Banking: a $300 Billion Deception (2005) menulis: “Dalam transaksi murabahah, selisih antara harga beli dan harga jual mengakui nilai waktu dari uang (time value of money) dengan cara yang sama seperti mengenakan bunga. Terus terang, bank syariah membebankan bunga atas 95% dari transaksi pembiayaan mereka, tetapi disembunyikan dalam pakaian Islam. Dengan membebankan bunga dalam berbagai samaran, yang pada dasarnya dirancang untuk mengaburkan produk, bank syariah terlibat dalam penipuan, penggandaan, dan dengan demikian mempromosikan ketidakjujuran.”
Di Indonesia, industri fesyen halal telah berkembang pesat. Namun, bahan baku tekstil jenis katun Indonesia masih dipasok dengan mengimpor dari negara-negara besar seperti China dan Amerika Serikat. Menurut Kementerian Perindustrian, Indonesia mengimpor kapas sebagai bahan baku/kain katun mencapai 99,2 persen dari semua kebutuhan kapas nasional per tahun. Hal tersebut dapat menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi Indonesia karena apabila terjadi kenaikan suku bunga di Amerika Serikat. Lagi-lagi, sistem bunga masih menjadi bagian dari bisnis syariah: industri fesyen halal.
Para ilmuan dan ahli ekonomi Muslim, kata Muhammad Sharif Chaudhry dalam karya Fundamental of Islamic Economic System (2014), sejauh ini telah gagal dalam memberi pengganti bunga yang praktis, sederhana, dan aman. Pengganti bunga yang ditawarkan oleh ekonom-ekonom Muslim sering kali bersifat samar, rumit, dan tidak praktis. Profit and loss sharing yang dijadikan pengganti bunga dirasa sulit oleh pemberi utang dan pengutang yang tidak dapat bekerja sama karena mereka saling mencurigai motif masing-masing sebagai akibat dari rendahnya standar moral dan etika bisnis di dalam masyarakat.
Sistem murabahah, mudharabah, dan musyarakah tidak disebut sama sekali dalam Alquran dan hadis. Keduanya sebenarnya bentuk organisai bisnis yang aturan mainnya dibuat oleh para ahli fikih (fuqaha) Muslim pada Abad Pertengahan. Bahkan para fuqaha Muslim klasik tidak menyatakan bahwa sistem-sistem tersebut sebagai pengganti pinjaman berbunga. Para ahli ekonomi syariah saat ini berkhayal bahwa murabahah, mudharabah, dan musyarakah adalah pengganti yang islami bagi pinjaman berbunga. Namun, para ahli ekonomi syariah belum mampu memodifikasi konsep murabahah, mudharabah, dan musyarakah, misalnya, yang sesuai dengan perekonomian modern yang kompleks saat ini.
Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dalam opini bertajuk “Tahun Baru 1445 Hijriah Umat Islam Harus Berubah Nasib,” mengatakan, orientasi pengembangan ekonomi yang serbasyariah dan kaku harus diubah ke gerak fleksibiltas sebagaimana hukum dasar muamalah yang bersifat ibahah atau banyak kebolehannya. Jika ingin maju secara ekonomi, umat Islam harus melakukan langkah-langkah praktis dan strategis serta progresif disertai penguatan mentalitas kewirausahaan dan kesaudagaran yang positif (Media Indonesia, 20 Juli 2023).
Sebenarnya, tidak ada yang salah dalam upaya berbagai pihak untuk menggunakan atribut Islam sebagaimana dalam istilah ‘ekonomi syariah’, ‘bank syariah’, ‘hotel syariah’, dan sebagainya sebagai payung perjuangan atau kegiataannnya. Namun demikian, Ahmad Syafii Maarif mengingatkan dalam karya Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (2015) bahwa corak dan bentuk yang serba-Islam ini akan menjadi bumerang ketika bentuk-bentuk formal itu gagal menampilkan nilai-nilai keislaman dengan kualitas tinggi, sesuai klaim besar agama ini, yaitu rahmat bagi alam semesta. Kesenjangan semacam ini berlaku karena orang pada umumnya mengabaikan kualitas.
Sistem transaksi yang dianggap Islami oleh para pengiat ekonomi syariah dalam aktivitas ekonomi, keuangan, dan bisnis syariah perlu menghindari bentuk yang mentereng, sementara isinya centang-perenang, sama sekali tidak meyakinkan. Kesenjagan antara bentuk dan isi sudah lama terlihat di semua bangsa muslim di dunia. Dalam ungkapan lain: antara bentuk dan isi tidak bersahabat. Fenomena ini merupakan masalah sangat serius yang melanda umat Islam sampai hari ini. Solusinya adalah perlunya keberanian untuk melakukan terobosan untuk menyeimbangkan antara bentuk dan isi. Simbol-simbol Islami dalam aktivitas ekonomi, keuangan, dan bisnis harus diimbangi dengan penerapan nilai-nilai Islam dengan sungguh-sungguh untuk membangun kepercayaan masyarakat.
*Pemerhati Ekonomi Syariah, tinggal di Lamongan