Nyawa Lebih Suci dari Ka’bah

Oleh: Sauqi Futaqi*
Aksi pembunuhan akhir-akhir ini hampir bisa dijumpai dalam beberapa pemberitaan setiap hari. Penyebabnya macam-macam, sakit hati, ditagih hutang, balas dendam, korban fitnah, berebut harta, bersaing jabatan, dan lain sebagainya. Ditambah lagi kekerasan dan pembunuhan di Gaza, Palestina juga sampai saat ini belum bisa dipastikan kapan tuntasnya. Dalam bentuk yang lain, aksi bejat begal motor, perampokan, dan tawuran antar kelompok juga menambah daftar panjang terror dan pembunuhan. Pelakunya pun beragam, mulai dari orang tidak dikenal sampai pada orang terdekat sekalipun. Bahkan, ada juga seorang ibu yang tega membunuh bayi-bayi yang tak berdosa. Ini lah fenomena yang cukup tajam menusuk nurani. Pendeknya, darah manusia seperti tidak ada harganya. Ia ditumpahkan dengan mudah begitu saja tanpa memperhitungkan kerugian dan penderitaan bagi merka dan keluarga yang ditinggalkanya. Ada yang miris lagi bahwa pembunuhan tersebut menggunakan dalih agama.

Makin banyaknya kasus teror dan pembunuhan mengindikasikan betapa buruknya relasi kemanusiaan. Hubungan antar manusia menjadi hubungan yang saling membenci dan mengancam. Jika dulu di malam hari dan di jalanan yang gelap dan sepi kita merasa merinding ketakutan pada persepsi makhluk gendruwo, kuntilanak, dan lainnya dan terasa lega ketika sudah bertemu orang, kini yang terjadi justru sebaliknya. Setiap ada orang dipinggir jalan yang sunyi dan gelap, seolah mereka akan merampas harta benda dan bahkan menghabisi nyata kita. Kita pun terkadang enggan memberi tumpangan jika ada seseorang melambaikan tangan di pinggir jalan, karena jangan-jangan itu merupakan modus perampokan. Betapa manusia kini berubah menjadi makhluk yang menakutkan bagi manusia lainnya. Sungguh di luar batas nalar berpikir kita sebagai manusia.

Dengan intensitas kerusakan hubungan sosial yang semakin tinggi, relasi cinta kasih, saling membantu dan memberi rasa aman, sepertinya perlahan menjadi barang langka. Keamanan dan kenyamanan dalam kehidupan sosial semakin sulit ditemukan manakala rasa kemanusiaan sudah hilang dari kesadaran manusia. Akibatnya, yang terjadi adalah saling menghancurkan dan bahkan membunuh satu sama lain.
Konsekuensi dari krisis kemanusiaan dan keretakan sosial semacam itu secara tidak langsung akan menggeser fungsi sosial di dalam masyarakat. Keamanan dan kenyamanan bukan lagi menjadi iktikad bersama sebagai satu masyarakat, sebagai satu bangsa, melainkan dialihtugaskan kepada aparat penegak keamanan (birokratis), yang tentu saja dampaknya terhadap penguatan solidaritas sosial tidak sekuat iktikad bersama yang dibangun oleh masyarakat sendiri.

Baca Juga: Haji Melawan Watak Kolonial

Kesucian Nyawa

Teror dan pembunuhan atau penumpahan darah sebenarnya ditentang secara tegas oleh Rasulullah dalam hadist yang diriwayatkan Imam Ibnu Majah, “Dari ‘Abdullah bin ‘Umar dia berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah SAW thawaf mengelilingi Ka’bah dan beliau berkata, “Alangkah indahnya engkau (Ka’bah), alangkah harumnya baumu, alangkah agungnya dirimu, alangkah agungnya kehormatanmu. Demi jiwa Muhammad yang ada dalam genggaman-Nya, kehormatan, harta, dan darah (jiwa) seorang mukmin itu lebih agung di sisi Allah SWT daripada keagunganmu (Ka’bah). Kita tidak boleh berprasangka (kepada seorang mukmin), kecuali berprasangka baik”.(Tahirul Qadri, 2014:110)

Pernyataan Rasulullah “darah lebih agung dari ka’bah” mengisyaratkan bahwa menjaga nyawa lebih bernilai religius ketimbang menghadapkan wajah ke Ka’bah dan bahkan mengunjunginya (Haji atau Umroh). Padahal, pandangan kita selama ini, ka’bah merupakan simbol kesucian umat Islam lantaran Tuhan menjadikannya kiblat dalam ritual shalat. Arah kiblat menjadi semacam garis sakral penyembahan dan pemujaan. Bahkan, pertikaian bisa terjadi gara-gara perbedaan dalam menentukan arah kiblat.

Ada juga sebagian orang menyatakan bahwa seseorang telah menjadi kafir, musyrik, ahli bid’ah karena faktor perbedaan politik, ideologi, atau perbedaan praktik keagamaan, dan kemudian diputuskan halal untuk membunuh mereka secara brutal. Mereka seharusnya tahu bahwa kesucian dan kemuliaan nyawa seorang muslim menurut pandangan Rasulullah dinyatakan lebih suci dan mulia dari kesucian dan kemuliaan Ka’bah, yaitu baitullah (lihat Tahirul Qadri, 2014:110). Maka, bisa juga dikatakan bahwa menghilangkan nyawa seseorang bisa dikatakan lebih berdosa ketimbang menghancurkan ka’bah, meskipun yang kedua juga sangat ditentang dalam Islam.

Menjaga dan memuliakan nyawa atau darah juga berarti menciptakan rasa aman dan nyaman kepada sesama. Ini juga berarti bahwa menjaga nilai-nilai sosial-kemanusian lebih utama ketimbang harus “ngotot-ngototan” demi mempertahankan ibadah yang bersifat individual. Gugurlah religiusitas seseorang jika ia mengabaikan nilai-nilai sosial-kemanusiaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *